Beranda | Artikel
Dalil-Dalil Poligami Dalam Islam
Kamis, 3 Juni 2004

P O L I G A M I

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Pembahasan Ketiga:
DALIL-DALIL POLIGAMI DALAM ISLAM.

Ayat-Ayat al-Qur-an tentang Hal Itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [An-Nisaa’/4: 3].

Sebab Turunnya Ayat dan Maknanya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Urwah bin az-Zubair, ia menuturkan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, (وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),” ia menjawab, ‘Wahai keponakanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini bercampur dengan harta walinya. Rupanya, harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga walinya berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena itu, mereka dilarang menikahi perempuan yatim itu, kecuali bila berlaku adil kepada mereka dan memberikan kepada mereka mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi wanita-wanita yang mereka senangi selain mereka (wanita-wanita yatim yang berada dalam perwaliannya).’”

‘Urwah menuturkan bahwa ‘Aisyah mengatakan, “Orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ayat ini (turun), lalu turunlah firman Allah:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita…’” [An-Nisaa’/4: 127].

‘Aisyah melanjutkan, “Allah berfirman dalam ayat lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Sedang kamu ingin mengawini mereka… ‘ [An-Nisaa’/4: 127].

Karena salah seorang dari kalian tidak suka menikahi wanita yatim yang menjadi perwaliannya jika hartanya sedikit dan ke-cantikannya kurang. Oleh karena itu, mereka dilarang menikahi wanita yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali dengan adil, karena mereka tidak menyukai wanita yatim jika harta-nya sedikit dan kecantikannya kurang.”[1]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah: ( مَثْنَـى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ) ‘Dua, tiga atau empat.’ (An-Nisaa’: 127), yakni nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka; jika salah seorang dari kalian suka, silahkan menikah dengan dua wanita dan jika suka, silahkan menikah dengan empat wanita.”[2]

Al-Fakhrur Razi berkata, “Dibolehkan menikahi dua wanita jika suka, tiga wanita jika suka dan empat wanita jika suka. Dibolehkan menikahi sejumlah ini bagi siapa yang suka. Jika dia takut tidak dapat berbuat adil, cukuplah dengan dua orang wanita. Dan jika dia masih takut tidak dapat berbuat adil di antara kedua-nya, maka cukupklah menikahi satu wanita saja.”

Dalil Dari Sunnah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan memiliki 10 isteri, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Pilihlah empat orang dari mereka.” Ketika pada masa ‘Umar, dia menceraikan isteri-isterinya dan membagi-bagikan hartanya di antara anak-anak-nya. Ketika hal itu sampai kepada ‘Umar, maka beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku benar-benar menduga bahwa syaitan pada apa yang dicurinya dari langit telah mendengar kematianmu lalu me-lontarkannya ke dalam hatimu, dan mungkin engkau hanya tinggal sebentar. Demi Allah, engkau benar-benar merujuk isteri-isterimu dan engkau menarik hartamu, atau aku benar-benar mengambilnya darimu dan aku memerintahkan supaya menguburkanmu untuk dirajam sebagaimana dirajamnya kubur Abu Raghal.”[3]

Abu Dawud meriwayatkan dari al-Harits bin Qais bin ‘Umairah al-Asadi, ia mengatakan, “Aku masuk Islam, sedangkan aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Pilihlah empat di antara mereka.”[4]

Imam asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Musnadnya dari Naufal bin Mu’awiyah ad-Daili, ia mengatakan, “Aku masuk Islam, sedangkan aku mempunyai lima isteri, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Pilihlah empat, mana di antara mereka yang engkau sukai, dan ceraikanlah yang lainnya.’ Lalu aku mendatangi wanita yang paling lama menjadi pendamping, yang sudah tua lagi mandul, bersamaku sejak 60 tahunan, lalu aku menceraikannya.”[5]

Adapun makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“… Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki…” [An-Nisaa’/4: 3].

Ibnu Katsir berkata, “Yakni, jika kalian takut bila melakukan poligami tidak dapat berbuat adil di antara mereka, maka cukup-kanlah satu saja atau para hamba sahaya. Sebab pembagian jatah di antara mereka (hamba sahaya) tidaklah wajib, tetapi dianjurkan. Barangsiapa yang melakukannya, maka itu bernilai baik dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka tidak berdosa.”[6]

Sedangkan makna firman Allah:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” [An-Nisaa’/4: 129].

Para ulama mengatakan, “Mereka tidak akan dapat berlaku adil di antara para isteri berkenaan dengan apa yang terdapat dalam hati dan Allah memaafkannya. Dan mewajibkan keadilan dalam perkataan dan perbuatan. Jika dia condong dengan suatu ucapan atau perbuatan, maka itulah kecenderungan (ketidakadilan).”[7]

Kompromi di antara dua ayat ini, bahwasanya Allah membolehkan menikahi empat orang isteri, tetapi dengan syarat harus berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan. Adapun adil dalam cinta di antara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil walaupun kalian menginginkannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jatah dan berbuat adil, lalu beliau berucap:

اَللَّهُمَّ، هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكَ.

Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memiliki.

Makna ucapan tersebut, bahwa beliau tidak memiliki apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih mendalam daripada cintanya kepada sebagian yang lain. Sebab, hati adalah kepunyaan Allah; Dia memalingkannya bagaimana yang Dia sukai.

Dengan demikian, syarat untuk menikahi empat wanita adalah keadilan, bukan keadilan dalam perkara yang terdapat dalam hati. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita di akhir ayat ini dengan firman-Nya, (فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ ) “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai).” Tetapi Allah tidak memerintahkan kepada kita supaya tidak menikahi empat wanita, karena apa yang terdapat dalam hati adalah kepunyaan Allah. Dia Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa kita tidak akan mampu ber-buat adil di dalamnya. Oleh karena itu, hendaklah masing-masing dari kita tidak cenderung melebihi kelaziman sehingga berdampak buruk kepada yang lainnya.

Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dia -bahkan harus- mencukupkan satu wanita saja. Jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً

Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.”[8]

Dalam riwayat lain:

فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.

Lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya, maka dia datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi tubuhnya condong.”

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berucap, “Ya Allah, adapun hatiku, maka aku tidak bisa menguasainya. Adapun selain hal itu, aku berharap dapat berbuat adil.”

Inilah bentuk keadilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara isteri-isterinya. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami. Terkadang beliau mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isterinya tanpa persetubuhan, hingga beliau sampai kepada isterinya yang mendapat giliran pada hari itu lalu tinggal di sisinya.”[9]

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara isteri-isterinya; mana di antara mereka yang keluar bagiannya, maka dia keluar bersama beliau. Dan beliau menjatah untuk tiap-tiap mereka malam dan siang harinya.”[10]

Jabir bin Zaid berkata, “Aku mempunyai dua isteri dan aku berlaku adil di antara keduanya hingga dalam masalah ciuman.”

Mujahid berkata, “Mereka menganjurkan supaya berbuat adil di antara para isteri hingga dalam masalah wewangian; ia memakai wewangian untuk yang ini sebagaimana memakai wewangian untuk yang lainnya.”

Ibnu Sirin berkata, “Makruh suami berwudhu’ di rumah salah seorang isterinya tetapi tidak melakukan hal yang sama di rumah isterinya yang lain.”

Abul Qasim berkata, “Cukuplah bagimu apa yang telah lewat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya mengenai hal ini. Aku tidak mendapat kabar dari salah seorang di antara mereka bahwa dia menjatah (menggilir), kecuali sehari di sini dan sehari di sana.”

Ibnu Qudamah berkata, “Seseorang membagi di antara isteri-isterinya satu malam satu malam. Sedangkan pada siang harinya untuk mata pencahariannya dan menyelesaikan hak-hak orang lain, kecuali bila mata pencahariannya pada malam hari, seperti penjaga, maka dia menggilirnya pada siang hari, dan malamnya seperti siang harinya.”

Secara ringkas, syarat-syarat poligami ialah sebagai berikut:

  • Jumlahnya. Bahwa poligami hanya dibatasi empat wanita saja.
  • Keadilan. Islam mensyaratkan adil di dalam bolehnya poligami, yaitu dalam hal tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, bermalam, mu’amalah dan segalanya, sesuai dengan keadaan dan kesepakatan.
  • Mampu memberikan nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya. Jika orang yang ingin berpoligami tidak mampu memberikan nafkah, maka dia tidak boleh melakukannya. Karena nafkah itu wajib atas suami menurut ijma’; berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ   وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” [An-Nisaa’: 34].

  • Tidak menghimpun wanita-wanita yang dilarang dinikahi sekaligus, seperti menikahi dua wanita bersaudara atau lebih sekaligus, antara wanita dan bibinya (dari pihak ayahnya), dan antara wanita dan bibinya (dari pihak ibunya). Ini adalah dilarang.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 2494) kitab asy-Syariikah, Muslim (no. 3018) kitab at-Tafsiir, an-Nasa-i (no. 3346) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2068), kitab an-Nikaah.
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[3]. HR. At-Tirmidzi (no. 1128) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 4617), Malik (no. 1071) kitab ath-Thalaaq, dan hadits ini dalam riwayat Malik adalah mursal.
[4]. HR. Abu Dawud (no. 1914) kitab ath-Thalaaq, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiir al-Qur-aan (I/599): “Sanadnya bagus.”
[5]. HR. Asy-Syafi’i dalam Musnadnya.
[6]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[7]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 18).
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 1141) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi mengatakan: “Aku tidak mengetahui hadits ini marfu’ kecuali dari hadits Hammam, dan Hammam adalah perawi tsiqat dan hafizh.” Semua perawinya tsiqat (terpercaya), an-Nasa-i (no. 3942) kitab ‘Isyratun Nisaa’, Abu Dawud (no. 2133) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1969) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 9740) ad-Darimi (no. 2206) kitab an-Nikaah.
[9]. HR. Abu Dawud (no. 2135) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdur-rahman bin Abiz Zinad, dan ia shaduq tapi ditsiqatkan oleh sejumlah ahli hadits, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Ahmad (no. 24244).
[10]. HR. Muslim (no. 2445) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Abu Dawud (no. 2138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1980) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 24313), ad-Darimi (no. 2208) kitab an-Nikaah.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/774-dalil-dalil-poligami-dalam-islam.html